Salahkah Menjual Produk Tanpa Manual Bahasa Indonesia?

Kasus jualan iPad berujung penjara dikecam banyak pihak lantaran ‘pasal-pasal karet’ di dalamnya. Lantas apa salahnya menjual produk tanpa buku manual berbahasa Indonesia?

Kepada detikINET, pendapat tersebut dilontarkan Abimanyu Wachdjoewidajat akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah serta praktisi telematika. “Sepertinya semakin memperjelas bahwa UU kita sifatnya sangat short term, valid hanya saat UU tersebut direncanakan dan hanya untuk beberapa waktu setelah UU tersebut ditetapkan, kalau begini caranya maka kini tidak aneh selalu DPR disibukkan dengan pembuatan dan perbaikan UU, dan dengan UU yang tidak dapat mengikuti zaman, bahkan terkesan menciptakan pasal-pasal ‘karet’ yang hanya diaplikasikan bagi kepentingan pihak tertentu,” papar pria yang akrab disapa Abah ini.

Pasal Aturan Tentang Manual Book

1. Karena menjual iPad impor -yang diakui sebagai barang bekas dan berhubung beli di Singapura jadi tidak dilengkapi ‘manual berbahasa Indonesia’ yaitu melanggar Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) Huruf j UU/ 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena tidak memiliki manual book berbahasa Indonesia.

“Saya tidak habis berfikir apa salahnya menjual produk tanpa manual berbahasa Indonesia, apabila pembeli tidak keberatan dan sangat berminat, mungkin karena sangat paham cara pakai, ataupun sudah mengerti bahasa Inggris, lalu dimana letak permasalahannya? Toh si penjual bukan produsen atau reseller,” imbuhhnya.

Menurut Abah, di luar produk elektronik seperti iPad, masih banyak produk non-telematika lain buatan Indonesia yang ternyata tidak dilengkapi buku manual. Misalnya pisau dapur, wajan, palu dan sebagainya. Di lihat dari satu sisi itu semua tentu melanggar UU perlindungan konsumen juga.

2. iPad belum termasuk alat komunikasi resmi. Pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, karena iPad belum terkategori alat elektronik komunikasi resmi di Indonesia.

Hal di atas bisa diartikan bahwa pengguna tablet PC di Indonesia termasuk pengguna perangkat ‘tidak resmi’. “Lagi pula ada banyak perangkat tablet yang menggunakan jalur komunikasi udara bebas yakni Wi-Fi 2.4Ghz. Harusnya tidak salah bukan? Tetapi pada UU tersebut tetap disalahkan, karena tidak dijelaskan pengecualiannya,” tandas Abah.

Kemajuan Ilmu Telematika Sangat Pesat

Bayangkan suatu teknologi yang maju, dalam 6 bulan saja sudah bisa dipatahkan dengan temuan teknologi lain. Pada disiplin ilmu yang lain hal itu tidak mungkin, tapi banyak terjadi di bidang telematika.

Intinya, Abah menyimpulkan bahwa pasal yang dikenakan jelas-jelas mengarah atau menunjukan aturan hukum kita semakin tidak jelas dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Ia berharap adanya kasus ini akan semakin membuka informasi dan menyadarkan masyarakat luas semakin kritis, dan bukan mengenai baik-buruknya UU Indonesia.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *